Nah ini agak susah ya jawabannya, karena inget dulu pas Fatwee memang seneng fotografi, cuma punya kamera poket, lalu belajar macem macem dulu mengenai dasar dasar fotografi, segitiga eksposur, trus tentang kamera, lensa, focal length, jenis sensor, jenis jenis genre fotografi, lihat lihat karya orang lain, ah segalanyalah, sementara dslrnya belum punya karena mahal banget kan itu. Sedangkan kamera poket kan gak bisa manual, gak ada settingan aperture lah, pokoknya point and shoot. Paling terapin komposisi aja. Baru ketika bisa kebeli dslr pertama kali itu canon 500d setelah bimbang mau nikon d60 atau canon 500d, lalu milih canon. Disitu lalu diterapin lah apa yang udah dipelajari. Eh ternyata beda lho antara memiliki pengetahuan dan praktek benerannya, itu foto pada banyak yang out of focus dll, maka sambil motret sambil belajar lagi. Dan beberapa tahun belakangan seneng sama street photography, dimana biasanya ya go out, lihat sesuatu, shoot, jadi gak dikonsep dulu. Rencana aja bisa berubah, tadinya mau ke mana akhirnya malah jalan kemana. Ya karena jalan kaki jadi ngikutin kemana kaki melangkah, dan kita gak tau bakalan ketemu apa, semuanya spontan. So agak susah bilang karena dua dua prosesnya dilakukan.
Di saat hybrid camera makin jadi prioritas bagi setiap produsen, saya malah ingin ada kamera mirrorless yg hanya untuk foto saja. . . . . . Yang pasti bukan Leica M10 dan M11.. 😁
Kalau saya pikir, ada dua jenis street photography. Yang satu adalah street photography untuk ekstrovert, satunya lagi untuk introvert. Gak semuz orang mencintai interaksi antar manusia, dan fotografi jalan yang berbau human interest pastinya gak akan menarik bagi kaum introvert. Bagi mereka yang sentimental, introvert, pasti akan memilih untuk jauh dari interaksi antar manusia, apalagi yang tidak dikenal, mungkin mereka akan lebih tertairk mengambil foto jalanannya itu sendiri daripada manusia secara personal seperti yang dilakukan human interest. Saya selalu menganalogikan street photography dengan musik. Karena ada juga pecinta musik musik instrumental yang didalamnya yang menjadi penting itu bukan storynya, tapi mood yang dibangkitkan oleh si musik itu. Jadi kadang ada frame frame tertentu yang tidak memiliki story, tapii memiliki mood yang kuat, yang juga bisa menjadi daya tarik bagi mereka yang memilih menghindari interaksi antar manusia. Tapi balik ke istilahnya, street photography should be about the streets. Jalanan, baik ada maupun tidak ada manusia di dalamnya. Dan karena fotografi adalah seni, maka kita tidak akan bisa menyenangkan setiap orang dengan karya kita. Karena semua ada hubungsnnya dengan selera. Intinya bagi pecinta fotografi, keep shooting, and enjoy the process.
Mungkin bukan kearah mahal gaknya ya bang jer, tapi ada rasa penasaran, misal, gimana sih pake kamera fullframe, gimana sih pake eos 1ds series? Gimana sih feelnya megang 6d? Kalau saya malah pecinta dslr klasik yang secara harga pastinya udah jauh banget dibawah mirrorless terbaru macam canon seri R. Dan harus diakui kadang kita kepentok dengan berbagai macam hal karena keterbatasan alat yang kita punya. Kayak, mata kita ngelihat satu scene, dan ahh sayang, seandainya punya lensa sekian, pasti dapat tuh. Pada akhirnya kita akan mencari apa yang bisa kita capture dari gear yang kita punya. Atau bagi yang suka motret low light, mungkin akan sangat happy jika punya body dengan kemampuan iso tinggi dan bersih. Sedangkan alat alat demikian akan cenderung lebih mahal dari sekedar sebuah kamera tua dengan kemampuan iso apa adanya. Jadi mungkin bukan perkara mahalnya, tapi kita butuh gear yang bisa memfasilitasi apa yang mau kita bikin. Dan kamera kamera mahal lebih membuka kemungkinan kemungkinan lebih luas terhadap apa yang mau kita bikin. Itu sih yang bikin kamera dan lensa mahal itu menggoda
Apapun itu, fotografi sepertinya adalah bidang yang mahal. Seorang penghobi foto aja akan menghabiskan banyak uang buat hobinya. Apalagi fotografer pro harus invest di alat yang mahal mahal. Saya selalu percaya bahwa bukan hanya the man behind the camera yang penting, tapi keseluruhannya, ya the mannya, ya alatnya, semua penting. Dan untuk bisa menghasilkan image quality yang layak jual, harga alatnya gak main main, kemudian juga mungkin aja si fotografer udah invest banyak juga dalam pendidikannya, dan saya yakin hasil karya seseorang itu punya nilai, semakin diminati karya seseorang, nilainya makin tinggi. Dan dengan demikian harga jasanya juga akan makin tinggi.
Apa cuma saya aja yang gak mau Dslr punah? Kayak belum bisa move on dari generasi eos 30d, 40D, 50D, 7D, 5D classic, nikon d90, sony a900, kayak jaman jaman romantis dslr. Gak rela mereka semua hilang dari muka bumi dan digantikan mirrorless. Bagi hobbyists kayak saya, mungkin malah prefer kamera kamera jadul karena punya romantisme sendiri pas saat saat pertama megang dslr, gimana ngecengin 40d yang sekarang jadul banget, tapi dulu diidamkan dan gak kebeli karena mahal. Atau jaman mereka dioprek jadi IR. Rasanya mirrorless nan canggih sekarang kayak kehilangan daya tarik dslr dulu. Tapi ini semua subjektif karena bagi anak anak jaman sekarang mungkin akan jauh lebih nyaman pake mirrorless. Mungkin buat kaum profesional harus ngikutin jaman kali ya, biar gak kalah image qualitynya dan juga peluang untuk berkreasi lebih lagi. Tapi buat hobbyist mungkin akan tetap romantis dengan dslr dslr lamanya.
Perubahan teknologi gak terhindari sih. Gitu juga dulu dr zaman film lembaran, jadi film rol, lalu msk digital. Untung masih bisa dipake buat bikin foto, asal melihara alatnya telaten :)
Saat ini saya sedang belajar memulai usaha dibidang fotografi wedding, walaupun tingkat persaingan tinggi, susah mendapat client, segala sesuatinya belajar secara otodidak, tidak mengikuti kursus tidak mempunyai komunitas dan saya lakukan sendiri dan mandiriproses yang penuh tantangan dan rintangan belum dikenal karna posisinya masih di kampung... Tetap bersyukur meskipun sulit Gbu 🙏
Hehe sya baru komentar, Jd ingat masa2 awal seneng2 fotografi. Sya beli 2 buku om Jerry Aurum salahsatunya "On White" ada ttdnya. Tetap semangat dan berkarya om Jerry. Lekas sembuh dik Shakira
Banyak bgt Footage yg diambil di Banyuwangi, terimakasih om Jerry Aurum, semoga next bisa ketemu kalo di Banyuwangi mau belajar banyak tentang fotografi
Setelah luat story om jerry sebenernya udah kepikiran msu cari video yg dapat penghargaan. Bener2 keren sih. Seolah menghapus paradigma dimana Indonesia itu cuma ada macet, dan perdebatan netijen. Tp setelah melihat video ini, berasa terbayar kalau kepenatan tentang perdebatan dan toxic nya netijen di bayar dengan sebegtu indahkan indonesia ? Sangat luar biasa. Harus keiling indonesia dulu sebelum ke luar negeri deh kayaknya