Selamat datang di kanal RU-vid saya. Kanal ini merupakan wadah refleksi mendalam, di mana berbagai isu kehidupan akan diurai dengan cermat melalui lensa interdisipliner seperti filsafat, fiqih, tafsir, sosiologi, psikologi, tasawuf dan yang lainya.
Dengan menggabungkan perspektif-perspektif ini, saya mengajak Anda untuk merenung lebih dalam mengenai misteri eksistensi, etika, makna, serta dinamika sosial yang membentuk realitas kita.
Dalam setiap video, saya akan menjelajahi pertanyaan-pertanyaan yang kompleks dan merangsang pemikiran kritis, mengundang penonton untuk menggali hingga ke lapisan terdalam pemahaman mereka.
Bergabunglah dengan saya dan mari bersama-sama mengokohkan pijakan dalam menghadapi kompleksitas perjalanan hidup.
Jangan lupa untuk subscribe, like, dan bagikan video saya agar semakin banyak orang yang bisa merasakan nikmatnya berpikir filosofis dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.
Mas, mau nanya. Kalau kita memahami dan menyadari ke autentik an diri kita. Namun kita hidup masih dalam kekangan norma masyarakat, aturan orang tua atau perasaan subjektif yang tidak rasional namun baik seperti membantu orang tapi diri sendiri kesusahan. Apakah itu bisa termasuk hidup yang autentik?. Belum lagi maksud yang saya pahami dari fenomenologi ini cuma sebatas 'kesadaran' akan eksistensi diri bukan berprilaku mengikuti tuntutan 'kesadaran' tersebut. Apakah hal tersebut masih bisa disebut sebagai hidup yang autentik?
Pertanyaan ini menarik sekali, dan saya rasa banyak dari kita yang sering mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, kalau kamu sudah menyadari keaslian diri atau hidup secara autentik, tapi masih hidup di bawah tekanan norma masyarakat, aturan orang tua, atau bahkan perasaan subjektif seperti membantu orang lain meski diri sendiri kesusahan, apakah itu masih bisa disebut hidup yang autentik? 1. Hidup Autentik dalam Norma Sosial dan Aturan: Menurut Heidegger, hidup autentik itu bukan berarti harus melawan semua norma sosial atau aturan yang ada, melainkan lebih ke bagaimana kamu menyadari pilihan-pilihan yang kamu ambil. Kita tidak bisa lepas dari dunia ini, termasuk dari norma-norma yang ada. Jadi, kalau misalnya kamu mematuhi aturan orang tua atau norma masyarakat, tetapi kamu melakukannya dengan kesadaran penuh dan menyadari mengapa kamu memilih hal tersebut, maka itu tetap bisa dikatakan autentik. Yang terpenting adalah apakah kamu sadar dan reflektif tentang keputusan yang kamu ambil, bukan hanya mengikuti aturan atau norma tanpa berpikir. Misalnya, ketika kamu membantu orang lain meskipun itu menyulitkan diri sendiri, jika kamu melakukannya dengan penuh kesadaran bahwa ini adalah bagian dari nilai hidupmu, maka itu bisa dianggap sebagai tindakan autentik. 2. Fenomenologi: Kesadaran vs Tindakan: Fenomenologi memang lebih banyak berbicara tentang kesadaran akan eksistensi. Namun, bagi Heidegger, kesadaran ini tidak bersifat pasif. Justru, kesadaran ini seharusnya mendorong kita untuk bertindak sesuai dengan pemahaman kita tentang diri dan dunia. Jadi, jika kamu sadar akan eksistensi kamu tapi tetap bertindak semata-mata karena tuntutan dari luar tanpa mempertimbangkan kesadaran itu, maka hidupmu masih bisa dikatakan inauthentic. Hidup autentik bukan hanya soal mengetahui atau menyadari, tapi juga soal bagaimana kamu bertindak berdasarkan kesadaran itu. 3. Perasaan Subjektif: Mengenai perasaan subjektif, seperti membantu orang lain meski diri sendiri susah, jika keputusan tersebut muncul dari kesadaran dan refleksi mendalam mengenai nilai-nilai hidup yang kamu anut, maka itu bisa disebut tindakan autentik. Mungkin bagi kamu, menolong orang lain adalah bagian penting dari makna hidup, dan meskipun itu menimbulkan kesulitan, kamu tetap memilih untuk melakukannya. Selama kamu menyadari pilihan dan konsekuensinya, tindakan ini tetap bisa disebut autentik. Namun, jika kamu hanya mengikuti perasaan tanpa benar-benar menyadari mengapa kamu melakukannya, atau tanpa refleksi rasional, maka ini bisa menjadi tanda bahwa kamu belum sepenuhnya hidup autentik. Hidup autentik adalah soal keseimbangan antara refleksi dan tindakan. Kurang lebih seperti itu....
Kalau mau jelaskan seharusnya ada latarbelakang sejarahnya bang supaya lebih enak gitu,, misalnya tujuan husserl menjelaskan fenomenologinya untuk melawan apa
mas, boleh request pembahasan gak? mumpung masih rame tentang isu politik di Indonesisa, jadi saya ada saran konten tentang pembahasan "demokrasi radikal" dari pemikir Ernesto Laclan dan Chantal mouffe. biasanya kalau sudah bahas politik, teori mereka berdua yang maju dalam diskursus baik dari perkumpulan mahasiswa atau lain nya. namun sampe sekarang masih belum paham ama teori itu :(
Saya 2 bulan ini ganti akun mas roy,langsung numpuk 5 video mas roy belum saya tonton,dan baru saya subcribe ulang, Dan lama vacumnyA pasti sibuk banget, Salam dari Blitar
Bang saya bertanya. Sekarang lagi viral persoalan nasab "Habib Ba'alwi" seorang kiyai melahirkan sebuah tesis dan memunculkan permasalahan yg berpotensi menjadi konflik sosial bahkan rasial. Sementara untuk meredam koflik ini seharusnya ada pihak yg membuat antitesisnya namun Sampai saat ini gx ada yg bisa membuat antitesisnya. pertanyaan saya apabila sebuah tesis tanpa antitesis, apakah sah jika disimpulkan bahwa tesis tersebut bersifat final dan memiliki suatu nilai kebenaran tanpa kajian sintesis?... Mohon maaf jika pertanyaan saya tidak mudah di fahami.
Memang seharusnya kita selalu bersikap skeptis terhadap informasi dari orang lain karena sifat antonim dari Ikhlas,sabar dan malas selalu ada pada diri setiap orang. Bahkan aku ragu kamu bisa bersabar terhadap informasi tentang satpam yang dipecat gara gara memukul anjing.
Secara umum penjelasannya bagus. Bahasanya enak. Alurnya runut. Tapi kok noumena contohnya dunia hantu dan dunia mistik? Benar bahwa noumena adalah realitas yang tidak terinderai. Tapi hantu setan malaikat jauh dari ontologi Kant. Ontologi Kant sama sekali tidak mistik.
Kenapa tidak ada tahap 8 yaitu tahap mengimani dan menjalankan tanpa harus mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas keterangan tekstual dan kontekstualnya. Kalau begini Aku berada di tahap 7 mas.
1. Cari masalah yang ada. (cari masalahnya jgn judulnya, judul lahir dari masalah, bukan masalah terlahir dari judul) 2. Pahami apa itu masalah. Masalah itu adlh (gap antara teori dan fakta / harapan dengan realita berbeda) 3. Cari isu yang hangat 4. Sesuaikan dengan paradigma jurusannya.