Sipp.. Kerreenn.. 👍👍👍 Boleh tanya nih, jika bagi sebagian filsuf perenungan bs mengantarkan seseorang pada kebenaran akan adanya Tuhan (tauhid), pada proses yg bagaimana ternyata bbrp filsuf itu atheis? Atau bagaimana cara agar bagi seseorang yg mempelajari filsafat agar bisa tetap menuju arah keyakinan atas keberadaan Tuhan, bukan jalan kebingungan dlm memahami fenomena?
Terimakasih bu Meldona. Maaf masih amatiran. Hehehe. Sepengetahuan saya yg masih baru ini, banyak variabel yang mempengaruhi mengapa para filosof ada yg atheis atau tidak menganggap adanya Tuhan, karena bisa jadi: 1. Pola berfikir / aliran berfikirnya masih terbatas 2. Pengandaian untuk meneliti menurut kemampuan dirinya sndiri. 3. Informasi jaman dulu masih terbatas, tidak seperti sekarang akses yg sangat cepat untuk dapat rujukan, penelitian terdahulu yg belum tertata tapi, literatur yang benar dari sang Maha Pencipta bisa jadi belum sampai ditangannya, sehingga literatur yg lebih lengkap itu belum sampai dipelajarinya dan menyimpulkan berdasarkan keterbatasan manusia.
Bagaimana cara agar bagi seseorang yg mempelajari Filsafat agar bisa tetap menuju arah keyakinan atas keberadaan Tuhan. Menit 9:10. Kita harus tau sejarahnya filsafat, sehingga kita tau mengapa mereka filsuf lama (Sebelum Masehi) itu berpola pikir demikian karena mereka hidup dijaman yang belum disempurnakan dan belum semua hal di jabarkan oleh sang Pencipta melalui turunnya Wahyu. Mereka masih mencari cari berdasarkan fenomena atau kejadian2 dan menyimpulkannya sendiri. Maka dari itu mengapa di Indonesia diajarkan di S3, agar minimal sudah punya bekal ilmu yang kuat, sanggup menganalisis, mampu mensintesis dan mampu mengevaluasi. 😁 Sedangkan kita yang
Sedangkan kita yang hidup dijaman modern dan sudah disempurnakan segala referensi oleh sang Pencipta, tidak boleh ragu ketika mempelajari filsafat, karena itu hanya pola berfikir menganalisis untuk mempelajari fenomena lebih dalam.
Terima kasih, bu Meldona atas atensinya...mencoba berdiskusi, filsafat memiliki 3 kerangka berpikir yaitu ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Seorang filsuf memulai perenungannya dari tahap aksiologi, pada ranah "apa?", kemudian dia akan melanjutkan pemikirannya pada ranah epistimologi "bagaimana?". Pada tahap ini sebagian orang ada yang mampu bertahan menjadi "pemikir dewasa" dan sebagian ada yang tidak mampu bertahan (menjadi atheis atau phobia terhadap filsafat) karena epistimologi menggabungkan antara berpikir rasional dan berpikir empiris untuk mencari kebenaran. Penyebab atheis pada pada sebagian orang karena para calon filsuf tidak melanjutkan pembelajarannya/perenungannya pada tahap aksiologi atau tahap "manfaat" yaitu "untuk apa'". Ketika seseorang mencari kebenaran dan ia semata-mata mendasarkan dirinya pada sains atau pengetahuan maka sains atau pengetahuan itu dia anggap sebagai kebenaran yang absolut. Padahal dalam konteks Islam, sains bukanlah kebenaran absolut. Pertama, karena sains atau pengetahuan didefinisikan sebagai al 'ilm, karena memiliki 2 komponen. Pertama, sumber asli seluruh kebenaran adalah wahyu atau Alquran, yang mengandung kebenaran absolut. Kedua, metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren sama-sama untuk menghasilkan kebenaran. Kedua komponen ini menunjukkan, bahwa al 'ilm memiliki akar sandaran yang kuat dibandingkan sains versi scientist Barat, karena al 'ilm berasal dari TUHAN yang Maha berilmu dan Penguasa segala-galanya (Prof Dr. Mujamil Qomar, M. Ag) . Ilmu itu adalah Allah itu sendiri (QS. Al Alaq: 1-5). Oleh sebab itu perenungan harus dilanjutkan pada tahap aksiologi "untuk apa" ilmu itu dipelajari, ketika sudah pada tahap ini, seorang calon filsuf akan semakin menyatu dengan TUHANnya, bukan terjerumus dalam ATHEIS. Demikian bu Medona...mencoba untuk merenungkan pertanyaan panjenengan