Sebuah Jaket Berlumur Darah Oleh Taufik Ismail Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah berbagi duka yang agung Dalam kepedihan berahun-tahun Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal perjuangan' Berikrar setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan? Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata Lanjutkan Perjuangan 1966
Intonasi diatur di waktu dan kata-kata yang tepat jadinya semakin merinding ketika nonton. Kata yang diucapin jelas jadinya gak kerasa ada yang aneh. Ekspresinya kerasa banget kayak sedih tapi marah dipasang gestur tubuh kakak juga seperti tokoh yang sedang hidup di zaman puisinya, bikin penontonnya terbawa suasana. Rasanya kita balik ke tahun kejadian yang ditulis di puisi itu. Kereen banget penampilannya bikin makna puisinya jadi lebih jelas soalnya pembacanya bagaikan tokoh yang menderita dibawah tirani para pemerintah di orde baru. Sama seperti makna yang disampaikan oleh puisi :) 💗
Sebuah Jaket Berlumur Darah Puisi Karya:Taufiq Ismail Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah pergi duka yang agung Dalam kepedihan bertahun-tahun. Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’ Berikara setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?. Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang. Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata Lanjutkan Perjuangan.
@@amorakata6071 tanggal 15 nanti saya akan lomba lagi di kampus ,insyaAllah mungkin saya akan bawa puisi yang sama lagi kak, yang saya pelajari dari kakak,doain saya ya kak
puisi : Sebuah jaket berlumur darah Karya : Taufiq Ismail Dibacakan oleh : Eci wwooww, keren kaa pembacaan puisi yang luar biasa, dengan intonasi dan mimik wajah yang sangat baik🎉 👏👏
Jombang, Si Gadih Minang Puisi karya Dede Putra Di sini, Adityawarman pun gugur. hatinya menyerah. sepasrah karang dipeluk ombak. berbuih. menguap terbang hingga ke awan. sebahagia kemarau dicumbui hujan senja. jingga. Ia, perempuan berbaju kurung keemasan tersipu di laman Rumah Gadang menyirami bunga-bunga kehidupan merawat setiap duka dan bahagia yang tumbuh pada bentangan selendang suteranya Ia, bertengkuluk gonjong, berhias bunga tanjung dalam langkahnya yang anggun menerawang dunia yang canggung. kini, tawa pecah di tepian bergelut dengan sungai mengalun seirama dengan dayu bansi bercerita sebatas cerita mengenai carano yang telah sampai hingga lirikan mata telaga di balik Marapi gemuruh tambua menyapa mengalir deras ke pelosok negeri perempuan itu telah selesai menyilau dunia di balik samar pandangan; perempuan bertengkuluk gonjong pulang ke Rumah Gadang, sebelum petang menjelang Di sini, hati siapa yang tiada gugur padanya, si gadih jombang urang Minang Bukittinggi, Awal Oktober 2021 Minang, Sepetak Tanah Hadiah Tuhan (D. Putra, dkk.) Inilah surga, cintaku Di sini, demi cinta, kawah berapi diterjuni sani dan giran di sini juga, di sepetak tanah hadiah tuhan, sabai dilahirkan Dan di sini, kaba ialah sebagian dari hidup dan kehidupan Hingga beragam pantun mengalun dalam nyanyian, dan juga ratapan “Dindin bak dindin oi, dindin bak dindin” Sepi di sini, sepi batu dan sepi-sepian di gunung Sepi di hutan, hutan hijau melingkung mendayung Padang-padang ialah lalang sejauh mata memandang Di atasnya, mengambang rawan suara salung Rindu yang dibuang, atau dibungkam Ada sepetak rindu merintih, di sini melulung Kau dengarlah, lewat ratap suara saluang Ada restu pergi, dari pada hidup sepi di kampung “Hujan batu di kampung kita, hujan emas di rantau orang” Kau dengarlah lagi, lewat sayup-sayup suara lesung Mendung, mengapung, menuruni setiap hati yang ingin berpulang Tetapi, coba ditelannya juga walau pahit tiada kepalang Dia sembunyikan, dia telan, dia simpan dalam dendang “Dindin bak dindin oi, dindin bak dindin” Di sini cintaku, malaikat-malaikat bekerja di ladang sepi Hujan, bunga, dan tanah, mengendap di bumi Malam, Ia kembali kawal para petani hingga subuh hari Di sini cintaku, sunyi yang menghamili padi-padi “Oi, dindin bak dindin oi” Tilatang Kamang, Oktober 2022
Hai kak, sebenarnya tidak harus seperti itu, tapi setiap puisi pasti memiliki latar belakang yang berbeda sesuai dengan kapan ditulisnya puisi tersebut. Jadi, apabila dalam pembacaan puisi ini logat saya seperti orang tempo doeloe, itu karena puisi yang saya bacakan ditulis pada tahun 1966. Terima kasih, Kak 🙏