Kisah yang melatarbelakangi berdirinya benteng,
Jika diperhatikan dengan seksama, 12 pilar terpancang mereplikasi ceritera tentang Perang Tondano yang akhirnya melahirkan objek wisata itu. Cerita dimulai dari perang Tondano pertama (1661-1664) hingga perang Tondano ke empat (1807-1809).
Mengapa terjadi Perang Tondano dan apa pemicunya?.
Musuh bebuyutan orang Tondano (dahulu disebut Minawanua), pada abad ke 16 hingga abad ke 19, tak lain adalah Belanda. Lebih tepatnya Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602.
Dua hal pemicu. Pertama, soal Kopi. Kala itu cengkih, kopra dan beras belum dilirik Belanda. Justru kopi yang diburu karena konon harganya melambung tinggi seiring dengan Kas Negara Belanda menipis akibat perang di Eropa.
Memang, Minahasa juga penghasil beras terbesar terutama di sekitar Danau Tondano. Akan tetapi beras bukan menjadi pemicu perang kala itu (1808-1809). Perdagangan atau barter beras semata-mata untuk kebutuhan logistik armada dagang dan para prajurit penjaga Benteng Fort Amsterdam di Manado.
Pemicu yang kedua, gara-gara ambisi seoang politikus Belanda yang merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-36 Herman Willem Daendels,. Ia memerintah antara tahun 1808 - 1811.Kerja rodi pembuatan jalan Anyer-Panarukan di Pulau Jawa yang digagasnya itu, mewajibkan Residen Manado yaitu Predigger merekrut sekitar 2.000 pemuda suku-suku Minahasa pemberani, untuk dijadikan serdadu dan kemudian dikirim ke Jawa. Namun perekrutan itu ditolak oleh para Tonaas dari Tondano dan Tomohon, dengan menunjukkan sikap antipati pada penjajah atau pihak kompeni. Salah satu alasannya, antek-antek Belanda yang merekut pemuda para pahlawan perang berlaku dan bersikap kasar serta memanfaatkan sebagai penagih utang.
Perang Tondano Pertama (1661-1664). Terjadi pada tanggal 1 Juni 1661. Perang ini merupakan perang rakyat di sekitar danau Tondano, sebelah selatan Kota Tondano, melawan pasukan kolonial Belanda. Belanda sedikit kewalahan karena kurang lebih 1.400 laskar (termasuk kaum perempuan) terlibat dalam pertempuran di atas air dan rawa.
Perang Tondano Kedua (1681-1682). Disebabkan oleh perlakuan semena-mena Belanda (VOC) yang menyalahi Perjanjian 10 Januari 1679 tentang persekutuan-persahabatan antara Minahasa dan Belanda, (ditandatangani oleh Robertus Padttbrugge dari pihak Belanda, dan dari pihak Minahasa ditandatangani oleh Maondi (Mandey), Capitaine Pacat (Paat), Soepit (Supit), dan Pedro Rantij (Ranti).
Karena Walak Tondano tidak mau berkompromi dengan kompeni Belanda, maka kawasan Tondano tepatnya di Minawanua diserang oleh pasukan Belanda dan antek-anteknya. Bagi kompeni Belanda kawasan Minawanua itu Boven Tondano (tempat tinggal orang Tondano), merupakan kawasan yang dijadikan tempat berkumpul para ekstrimis (Pangalila).
Perang Tondano Ketiga (1707-1711). Akibat dari seluruh Walak di Minahasa pada umumnya, dan khususnya Walak Tondano tidak tahan atas penderitaan akibat kekejaman bangsa Belanda. Verdrag 10 September 1699, dianggap merupakan politik tipu daya terhadap walak-walak Minahasa.
Perang Tondano Keempat (1807-1809).Lebih seru karena berlandaskan semangat Mapalus (tolong-menolong), Maesa (bersatu), dan Matuari (turunan Toar-Lumimuut), menyatakan apabila pihak kompeni Belanda tidak menghentikan pelanggaran terhadap Verbond 10 Januari 1679, dan pemaksaan-pemaksaan yang bertentangan dengan adat, maka seluruh walak Minahasa yang hadir akan melawan kompeni Belanda dengan cara penghentian pemasokan dan perdagangan beras, tidak membayar hutang sandang, tidak mengizinkan para pemuda untuk menjadi serdadu kompeni, dan tuntutan pemulangan serdadu-serdadu dari luar Minahasa.
Benteng Moraya, merupakan pertahanan terakhir masyarakat Minahasa melawan penjajah Belanda, meskipun mendapat gempuran, dengan segala daya yang tersisa mereka mampu bertahan.
Kata “Moraya” diartikan sebagai genangan darah. Konon di seluruh kawasan Tondano (pada perang 5 Agustus 1809), telah digenangi darah dan bau anyir dari para korban perang. Itu memerlihatkan lembaran peristiwa kelam yang harus dibayar sungguh sangat mahal dengan darah, airmata dan mengorbankan banyak nyawa bagi pejuang-pejuang Minahasa laki-laki maupun perempuan kala itu. Serasa terngiang kembali goresan luka lama.
Pilar-pilar besar itu berjumlah 12 buah. Enam pilar di sebelah selatan dan enam yang lain di sebelah utara. Pilar itu dipancang persis di belakang tulisan Benteng Moraya. Uniknya setiap pilar diukir dalam bentuk relief gambar dan informasi tentang sejarah perang Tondano yang pertama, hingga perang Tondano keempat. Mengisahkan betapa heroik perlawanan orang Tondano (Minawanua) hingga titik darah penghabisan,hingga empat kali perang Tondano.
#bentengmoraya #wisataindonesia #wisatasejarah
#wonderfulindonesia #ragamindonesia
29 сен 2024
