Berdasarkan putusan Pengadilan tentang kasus Perdata yang dimenangkan oleh Parlin Lumbanraja dan Kawan kawan atas gugatan tentang kepemilikan Perkampungan Sosor Silulu seluas 6000 Meter : selanjutnya mereka menyampaikan permohonan eksekusi terhadap Pengadilan atas objek perkara yang dimenangkan tersebut. Namun Permohonan eksekusi tersebut dinilai oleh pihak tergugat yang kalah : salah alamat.
Hal itu disampaikan oleh Asgat Lumbanraja yang merupakan salah satu dari sejumlah pihak tergugat di Huta SiLulu Desa Pangaloan Kecamatan NainggolanKabupaten Samosir.
Ia mengatakan bahwa objek yang digugat adalah Sosor Silulu namun yang dieksekusi jadi Huta Silulu.
Padahal Perkampungan Huta Silulu sudah ditempati sebanyak empat generasi : dan yang tinggal diperkampungan itu masih keluarga dekat termasuk dengan pihak penggugat.
Dia juga menyebutkan bahwa di Kartu Tanda Penduduk mereka mulai dari Kakek Neneknya tertulis beralamat di Huta Silulu. Selain itu : ia juga menunjukan selembar kertas Profil Desa yang bertuliskan Huta Silulu.
Bukan itu saja. Permohonan eksekusi itu juga ditantang oleh Monang Lumbanraja yang bukan salah satu dari pihak tergugat, karena tanah yang diklaim miliknya juga masuk dalam 6000 meter pada permohonan eksekusi itu : Sehingga dia melakukan perlawanan eksekusi terhadap pihak pengadilan.
Monang Lumbanraja juga menjelaskan bahwa tanah miliknya itu sudah pernah berperkara dan dimenangkan oleh Kakeknya pada tanggal 12 sampai tanggal 14 Juni 1930. Ia mengaku memiliki surat putusan pengadilan yang berbunyi bahwa tanahnya berbatasan dengan Huta Silulu bukan Sosor Silulu.
Sepuluh unit Rumah yang sudah dimohonkan eksekusi : empat diantaranya adalah Rumah adat Batak yang sudah berusia ratusan tahun : yang dibangun tentu dengan berbagai tata cara adat Batak. Akankah Rumah itu dieksekusi tanpa proses adat Batak?
Dikutip dari berbagai informasi, bahwa Rumah adat Batak itu begitu tinggi marwahnya bagi orang Batak dan dianggap sakral. Konon, jaman dulu membangun rumah Batak butuh proses yang panjang. Rumah adat Batak biasanya dibangun dengan cara bergotongroyong. Pengambilan bahan kayu dari Hutan dilakukan dengan bergotongroyong dengan berbagai upacara upacara sakral, mulai dari penebangan sampai membawa kayu itu keperkampungan, hingga mulai membangun dilakukang dengan begitu hati hati tentunya mengedepankan kearifan Batak.
Namun betapa miris, jika Rumah yang begitu dianggap sakral itu harus diratakan dengan tanah, hanya berdasarkan keputusan pengadilan, lalu dimanakah marwah para leluhur yang membangun itu, jika para generasinya sudah tidak mengindahkanya lagi?
30 апр 2022