Ida Pedanda Made Sidemen adalah seorang kawi wiku, pengarang yang juga sekaligus pendeta besar bali pada abad ke-20. Karya-karyanya menjadi perhatian luas kalangan kalangan penekun sastra Kawi. Dilahirkan dari keluarga brahmana pada hari Selasa Wage, Uku Dungulan, Saka 1800 (1878 M) di Griya Aseman Taman Sari, Intaran - Sanur.
Semasih welaka (belum menjadi pendeta) tokoh yang akrab disapa Pedanda Made ini bernama Ida Ketut Aseman. Ia menyunting Ida Ayu Rai dari Geria Sindu, Sanur. Namun perkawinan ini tidak diteruskan, karena sang istri tidak mau melanjutkan untuk mediksa (proses inisiasi menjadi pendeta Hindu di Bali). Akhirnya, Pedanda Made berkeputusan untuk cerai. Dari perkainan ini lahir seorang putri bernama Ida Ayu Pidin.
Selang beberapa lama, Ida Ketut Aseman menyunting isttri kedua, yang setelah mediksa bernama Ida Pedanda Istri Made, dari Geria Puseh, Sanur. Dari perkawinan kedua ini lahir seorang putri bernama Ida Ayu Siti -setelah kawin dengan golongan para gusti, ia lebih dikenal dengan Oka Siti.
Merasa diri orang yang hanya menambah padatnya penduduk (pangresek jagat), tidak berguna, malas, dan miskin, yang hanya bisa ngomong, bagai burung yang juga suka melayang-layang, maka saat berumur 27 tahun ia pergi meninggalkan orangtua (meninggalkan yayah bibi). Uniknya, ini dilakukanya sambil melarikan seorang gadis (lumayati wong kaniaka) dan pergi menyusuri desa-desa. Kegelapan seakan menyelimutinya, akhirnya ia menetapkan pikiran, pergi berguru, lalu menghadap sang nabe di Geria Mandara, Sideman, karangasem.
Maka bersama sang istri yang setia, Ida Pedanda Made Sideman menentukan sikap untuk melakukan pengembaraan ke ‘peradaban batin’. Pulihannya itu dinyatakan kepada istrinya, “… idep beline mangkin makinkin mayasa lacur, tong ngelah karang sawah, karang anak tandurin, guna dusune kanggo ring desa-desa”. Begitulah beliau memilih jalan hidup sebagai ‘mayasa lacur’ (bertapa miskin) dengan dasar ‘guna lacur’ (ketermpilan sebgai orang dusun). Karena tidak mempunyai sawah, maka Ida Pedanda Made akan menanam sesuatu dalam dirinya sendiri.
Nyatanya, penghayatan pada ‘guna dusun’ itu mengantarkan Ida Ketut Aseman tak hanya sebagai seorang pendeta, namun beliau juga sekaligus sebagai petani, seorang undagi yang paham filosofi arsitektur, fasil dalam hal ilmu mengukur tanah, membuat arca, tapel, prelingga, kul-kul (kentongan), pemulas warna, ngatep barong, sekaligus seorang pujangga.
Alam catatan otobiografinya, sebagaimana tertera dalam karyanya yang berjudul Geguritan Salampah Laku,disebutkan bahwa Pedanda Sideman pertama kali belajar sastra dari Ida Bagus jelantik di Somawati. Tulisannya: Sun anut solahin guru/sang wonten ring Somawati/juru kawi Bali kruna/pretama guru mengaji/maguru lagu lan tembaga/nama Ida Bagus Jelantik.
Dikatakan pula, ketika memasuki usia setengah baya, (tengah tuwuh) beliau baru berguru dua kali. Dan, beliau berkeinginan kembali ke Mandagiri (maksudnya Geria Mandara, Sideman) guna menemui gurunya, seorang pandita nabe ( pendeta guru) untuk ketiga kalinya. Tulisnya: Ngungsi Mandara Giri/puput maguru ping telu/malih amari wara/ngusap suku sang resi/gawe ayu dadi jejek sang pandita//.
Demikian, berangkat dipagi hari bersama istrinya yang setia, menyusuri pantai timur Pulau Bali. Setibanya di Mandara, sang pandita guru menerimanya sebgai siswa paling bungsu, dan Ida Ketut Aseman pun amari aran ( berganti nama) menjadi Ida Pedanda Made Sideman.
Konsep demikian kemudian melahirkan sejumlah peninggalan kreativitas, di antaranya: Ida pedanda menulis 30 gantus rontal embat-embatan, 37 rontal kropak, 154 rontal cakepan, sejumlah tapel, sejumlah patung, sejumlah wantilan, sejumlah bade, 77 kulkul, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Sebagai seorang pengarang, Ida Pedanda made Sideman mewariskan sejumlah karya, antara lain: Kekawin Candra Bhairawa, kakawin Cayadijaya, Kidung Rangsang, Geguritan Salampah laku, Kakawin Patitip, Kakawin Panglepasan, Siwagama atau Purwagamasana (dalam bentuk prosa), dan lain-lainnya.
Pengarang yang sering memakai nama samara Tanarsa, Tantusta, atau Tanmaha ini akhirnya meninggal tanggal 10 September 1984, dalam usia 126 tahun. Dan pada hari selasa pagi, 20 Agustus 1980, menteri P dan K Danoed Joesoef menyematkan tanda penghargaan padanya atas jasanya di bidang pembinaan sastra daerah.
15 сен 2024