• KAYU YANG TIDAK BAIK M...
KAYU YANG TIDAK BAIK MENURUT LONTAR AJI JANANTAKA
#KayuYangTidakBolehUntukBangunanSuci
#KayuCempakaWilis(Magnoliachampaca)
#KayuCempakaWilisKayuTanpaAnugrah
Salah satu teks tutur Bali yang memiliki nilai keagamaan, sosial, dan budaya adalah teks Aji Janantaka. Teks ini mengandung wacana kayu sebagai bahan utama bangunan Bali tradisional, seperti parahyangan atau tempat suci, rumah tempat tinggal, serta beberapa bangunan lainnya, seperti dapur, jinêng, dan pintu masuk pekarangan/angkul-angkul. Selain berupa bahan bangunan, pembuatan bangunan tradisional Bali diatur dalam karya sastra dalam bentuk Lontar seperti Lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Bumi, Wiswakarma Tattwa, yang isinya mengatur tentang ukuran serta letak bangunan Bali tradisional. Bangunan Bali tradisional secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bangunan Parahyangan atau tempat suci agama Hindu dan bangunan Pawongan atau tempat tinggal. Pola ruang dan pola perumahan tradisional Bali sangat terkait dengan pandangan hidup masyarakat Bali. Peranan agama Hindu yang mengajarkan agar manusia mengharmoniskan alam semesta beserta isinya tertuang dalam pola bangunan tradisional Bali. Pada dasarnya pola bangunan tradisional Bali mengandung aspek simbolik yaitu berkaitan dengan orientasi kosmologi yang dijabarkan ke dalam dua aspek kegiatan yaitu yang bersifat sakral dan yang bersifat profan (Dwijendra 2009:41). Dalam tatanan keagamaan teks Aji Janantaka memberikan makna teologi, etika, adat, dan budaya kepada masyarakat Hindu yang ada di Bali. Teks Aji Janantaka memiliki karakteristik teks Śiwaistik, sehingga dipandang penting bagi umat Hindu di Bali, terutama memahami hakikat Śiwa, dapat merealisasikan ajaran tattwa untuk menyeimbangkan antara susila dan upacara. Menelisik narasi teks Aji Janantaka, tersirat teologi Śiwa Siddhanta yang kuat berkenaan dengan kedudukan Bhatara Śiwa yang disebut dengan sebutan Bhatara Dharma. Di dalam teks Aji Janantaka, Bhatara Śiwa disebutkan dengan gelar Bhatara Śiwa Dharma. Dalam teks Śiwa Gama, Bhatara Dharma tidak berbeda dengan Bhatara Śiwa, sehingga antara Śiwa Dharma dengan Bhatara Dharma sesungguhnya tunggal (éka) menjadi banyak (anéka). Hal ini menunjukkan teologi Śiwa Siddhānta yang menekankan bahwa Bhatara Śiwa adalah tunggal dan menjadi banyak sesuai dengan swabhawa bhatara. Makna yang terkandung dalam teks Aji Janantaka adalah makna keagamaan, makna pendidikan memuliakan tumbuhan dan pelestarian alam, pendidikan etika, makna mengajegkan pranata budaya, serta literasi norma masyarakat yang harus dipatuhi. Selain sebagai teks keagamaan, Aji Janantaka juga memiliki nilai kebudayaan yang tinggi terutama sebagai pedoman dalam pembuatan bangunan Bali tradisional yang merupakan salah satu ciri budaya Bali. Kayu yang digunakan dalam bangunan parahyangan menurut teks Aji Janantaka adalah jenis kayu yang berbahu harum, seperti: cêmpaka, majagau, cêndana , kamper, boni sari, serta kayu yang telah mendapatkan pênyupatan atau pangêlukatan dari Bhatara Dharma. Kayu-kayu tersebut selain digunakan sebagai bangunan palinggih juga sebagai simbol pemujaan atau yang lebih dikenal dengan sebutan pratima atau pralingga. Dalam lontar Aji Janantaka, tidak saja berisi tentang kaya yang baik untuk bahan bangunan suci dan bangunan tempat tinggal, seperti digunakan sebagai bahan bangunan klumpu adalah kayu kalikukus, kalimoko, dan kayu kalécung. Penggunaan kayu sebagai sarana pembuatan angkul-angkul termuat dalam teks Aji Janantaka adalah kayu klampuak. Sementara itu, juga disebutkan kayu yang tidak baik digunakan sebagai bangunan suci dan bangunan tempat tinggal, seperti misalnya kayu base (Magnolia Champaca), cempaka wilis atau cempaka gondok, warnanya agak hitam kebiru-biruan berbeda dengan kayu cempaka biasa. Mitologinya menyatakan: “ketika Bhatara Dharma dating ke tengah hutan Pringa, tempat mengasingan Prabu Pratika di kerajaan Janantaka itu, semua kayu dan bunga diberi pengelukatan disertai anugrah dapat digunakan sebagai bahan bangunan suci maupun bangunan tempat tinggal. Namun kayu Cempaka Wilis ini tidak bersedia memohon pengelukan Ida Bhatara Dharma. Itu sebabnya kayu cempaka wilis juga disebut dengan kayu kasepan yang artinya terlambat tidak dapat digunakan sebagai bahan bangunan suci dan bangunan tempat tinggal. “Barang siapa yang menggunakan kayu cempaka wilis itu sebagai bahan bangunan, akan berakibat tidak baik bagi penghuni rumah itu”. Bagaimana kalau tidak tahu karena membeli di toko kayu dan tidak dijelaskan kayu apa, maka berlaku rumus “yen ten weruh ten dosa”.
Bagaimana penjelasan selanjutnya, silahkan simak sesuluh Yudha Triguna melalui Yudha Triguna Channel pada RU-vid, juga pada Dharma wacana agama Hindu.
Untuk mendapatkan video-video terbaru silahkan Subscribe
www.youtube.co...
Facebook: yudhatriguna
Instagram: / yudhatrigunachannel
Website: www.yudhatrigu...
15 сен 2024